Senin, 11 Mei 2015

Nenek Asyani dan Rasa Keadilan


Nenek Asyani dan Rasa Keadilan

Nenek Asyani (63), warga Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, sepekan terakhir ini menyedot perhatian masyarakat. Perempuan yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu sempat meringkuk di tahanan Kepolisian Sektor Jatibanteng sekitar tiga bulan karena disangka mencuri kayu jati milik Perum Perhutani.
 Nenek Asyani  kini terbaring di tempat tidurnya. Pada Senin (16/3) lalu, setelah dibebaskan dari Rumah Tahanan Situbondo, Asyani kembali pulang ke rumahnya di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Kondisi Asyani hingga Selasa kemarin masih lemah.
Nenek Asyani  kini terbaring di tempat tidurnya. Pada Senin (16/3) lalu, setelah dibebaskan dari Rumah Tahanan Situbondo, Asyani kembali pulang ke rumahnya di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Kondisi Asyani hingga Selasa kemarin masih lemah.

Nenek Asyani kini terbaring di tempat tidurnya. Pada Senin (16/3) lalu, setelah dibebaskan dari Rumah Tahanan Situbondo, Asyani kembali pulang ke rumahnya di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Kondisi Asyani hingga Selasa kemarin masih lemah.
Asyani yang ditahan sejak Desember 2014 baru ditangguhkan penahanannya pada Senin (16/3) lalu oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Namun, perkaranya belum berhenti. Ia masih harus menjalani lanjutan persidangan hingga ada putusan pengadilan.

Walaupun mencoba meyakinkan polisi bahwa tujuh balok kayu jati yang menjeratnya merupakan peninggalan suaminya, almarhum Mustari, Asyani tetap ditahan dan diadili. Saksi dari warga dan pimpinan desanya tidak menyurutkan niat Kepolisian Negara RI untuk menegakkan hukum yang keras kepadanya.

Kisah Asyani, yang diikuti kisah Harso Taruno (63), petani dari Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang diadili karena didakwa menebang sebatang kayu jati di hutan Suaka Margasatwa Paliyan, kian menguatkan fenomena penegakan hukum di negeri ini.

Aparat menggunakan hukum seperti golok, yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Padahal, hukum selalu digambarkan sebagai pedang. Pedang keadilan.

Sebilah pedang tajam pada dua sisinya sehingga dilukiskan hukum tak pandang bulu. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Dewi Keadilan pun ditutup kedua matanya sehingga tak pilih kasih dalam menegakkan hukum.


Jika selama ini penegakan hukum dijalankan dengan pedang keadilan, semua orang diberlakukan sama di depan hukum, kisah Asyani atau Harso atau kisah lain orang kecil yang tidak berdaya di depan aparat hukum, tak akan menarik perhatian masyarakat. Tidak akan terjadi ketidakadilan. Realitasnya, hukum ditegakkan tajam untuk mereka yang tak berdaya.

Menurut saya, hukum di Indonesia kurang begitu keras untuk para penjahat-penjahat berdarah dingin yang mengambil uang rakyat dan di pakai untuk kepentingan pribadi. Rakyat membayar pajak untuk mentaati peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah, tetapi penjabat-pejabat sendirilah tidak mentaati peraturan bahkan melewati batas. Dan dimana keadilan untuk rakyat kecil seperti nenek Asyani.

sumber  :
1.http://print.kompas.com/baca/2015/03/18/Asyani%2c-Rasa-Keadilan%2c-dan-Wacana-Remisi-bagi-Koru 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar